A Lot Like Love (33)
>> Thursday, October 18, 2012
Baca: A Lot Like Love (32)
It's A Secret
“BAGAIMANA Neela?”
“Masih sama.
Belum ada perubahan. Masih meringkuk di tempat tidur.”
“Dai?”
Helaan napas
dan embusan napas perlahan.
“Kabar terakhir,
dia belum siuman. Selebihnya aku tak tahu. Sejak keluarganya datang, kamar
tempatnya dirawat dijaga ketat. Selain suster dan Dokter, tak seorang pun boleh
mendekat.”
“Oh.”
Hening
sejenak.
“Well, aku dan Juna akan ke Bali besok. Kami
akan langsung ke rumah sakit.”
“Aku jemput.”
“Tidak usah. Kami tak ingin merepotkan.”
“Tapi—”
“Ken. We’ll be okay.”
Dengusan
pelan. “Baiklah. Aku menunggu di sini saja kalau begitu.”
“Lebih baik begitu.”
Tawa renyah
yang lama-lama memudar.
“Eiji di sana sekarang?”
“Ya. Dia
sedang di dalam bersama Neela. Kami bergantian membujuknya untuk bangun. Tapi…
sepertinya sampai sekarang tak satu pun dari kami yang berhasil. Dia sangat
terguncang, itu kata Dokter, tapi untuk itu kami harus membuatnya melupakan
kejadian itu dengan mengalihkan konsentrasinya, namun…”
“Tetaplah berusaha. Besok aku datang, dan
mudah-mudahan aku bisa membantu kalian membujuknya bangun.”
“Thanks, Lea.”
“Sama-sama, Ken.”
Hening lagi.
“Oke. Sampai ketemu besok kalau begitu.”
“Oke.”
“Jaga dirimu. Tetaplah sehat.”
“Thanks.”
“Bye, Ken.”
“Bye… Lea.”
Klik.
Kenneth
memandangi ponselnya lama, sampai wajah tersenyum Neela di layarnya menghilang,
berganti dengan warna hitam pekat yang mengabut. Setelah itu dia menyandarkan
punggungnya ke sandaran bangku seraya mengembuskan napas tajam dan menutup
matanya erat. Tapi tidak lama, karena matanya langsung membuka lagi begitu
mendengar suara derit di depannya.
“Hei.” Eiji
baru saja keluar dari kamar tempat Neela dirawat. Mendekati Kenneth, setelah
sebelumnya menutup pintu di belakangnya. Hanya menyisakan sedikit celah, agar
setidaknya mereka masih dapat mendengar suara dari dalam. “Istirahatlah dulu,”
sarannya, seraya duduk di sebelah Kenneth.
Kenneth cuma
mengembuskan napas, tak merespon. “Bagaimana Neela?”
“Sama saja.” Eiji
menyandarkan punggungnya ke belakang. “Sekarang tidur. Jadi aku tinggal.”
Kedua
laki-laki itu berpandangan sejenak, dan mengalihkan perhatian masing-masing ke
arah lain ditemani ekspresi gundah yang sama di wajah masing-masing.
“Maafkan aku,
Eiji.” Kenneth berbicara beberapa saat kemudian. Membungkukkan tubuhnya ke arah
depan. “Aku mengingkari janjiku. Aku tak seharusnya meninggalkan Neela dan
Dai—”
“Itu sudah
terjadi,” sela Eiji, memandang Kenneth. “Dan mungkin memang harus terjadi. Tak
ada siapa pun yang bisa mencegahnya. Jangan membebani dirimu dengan hal itu.”
Mata Kenneth
berkaca-kaca. Merasa terharu dengan pengertian Eiji yang sama sekali tak
diduganya.
“Kau sebaiknya
istirahat. Sudah hampir dua hari ini kau tidak tidur dengan semestinya,” Eiji
menyarankan. Menepuk pundak Kenneth sekali.
Kenneth
menggeleng. Mendorong badannya lagi ke belakang. “Aku tidak bisa. Dai belum
sadar, dan Neela…, dia masih seperti itu. Aku… tidak akan tenang.”
“Dai akan
siuman,” timpal Eiji penuh keyakinan. “Dia tidak akan mati hanya karena
tenggelam. Dia Yakuza. Tidak akan membiarkan dirinya mati hanya karena itu. Aku
tidak akan mengkhawatirkannya kalau aku jadi kau.”
Kenneth
menolehkan wajah. Heran. “Tapi dia hampir mati. Dokter mengatakan—”
“Dia hidup.
Percayalah padaku,” sela Eiji, tersenyum kecil. “Don’t worry.”
Kenneth
membalas senyum Eiji muram. Dia merasa sedikit lega, namun juga agak bimbang
dengan kalimat Eiji. Bagaimana dia bisa begitu yakin akan hidup mati seseorang?
Bagaimana dia bisa tahu Dai akan bertahan? Sementara saat ini dia masih dalam
kondisi koma akibat tenggelam dua hari lalu.
“Dia harus
hidup kan?” Eiji bertanya, menatap Kenneth lekat-lekat. “karena kalau tidak,
Neela pasti akan terus dihantui rasa bersalah sepanjang hidupnya.”
Wajah Kenneth
tertunduk bersamaan dengan dengus napasnya yang berat. Badannya kembali
membungkuk, dan kedua tangannya mengusap wajahnya yang resah beberapa kali. Dia
merasa lelah, lahir batin. Merasa tak sanggup lagi menghadapi semuanya. Tapi
Eiji benar, dia tidak seharusnya merasa cemas berlebihan untuk menghadapinya.
Dengan Neela yang sedang terguncang seperti sekarang, dia seharusnya bisa lebih
positif menyikapi keadaan.
“I hate Shinji you know?” kata Kenneth
kemudian, menatap kosong pintu di seberang yang sedikit terbuka. “Dia yang
menyebabkan ini semua.”
“Maksudmu?”
“Dia sudah
mati, tapi dia masih saja mengganggu benak Neela. Bahkan sampai saat Neela lupa
ingatan. Dia masih ada. Tak terhapus dari memorinya. Sehingga kita harus
meminta bantuan Dai dan akhirnya… jadi begini. Akan lebih mudah kan, kalau
Neela benar-benar lupa ingatan; tak menyisakan sedikit pun memori tentang siapa
pun?”
Kenneth dan
Eiji berpandangan selama sejenak.
“It’s fate,” kata Eiji. “Kau tidak bisa
menyalahkan siapa pun tentang ini. Bahkan Shinji. Dia berhak mendapatkan cinta
Neela, karena dia telah banyak memberi untuk kebahagiaannya. Bahkan hidupnya.”
Kenneth
memejamkan mata. Membiarkan sebagian wajahnya tersembunyi di bali cakupan
tangannya.
“He died because of her. He’d sacrificed
himself just to save her. Dia bisa saja membiarkan Neela bersama Kyouta
malam itu, tapi tidak. Dia mencarinya, dan akhirnya menyulut kembali permusuhan
yang selama beberapa waktu teredam. Dan lebih dari itu, dia menyelamatkan Juna,
laki-laki yang sangat diharapkannya lenyap dari Bumi lebih dari apa pun. Dia
mengorbankan dirinya untuk semua yang dia cintai, Ken. Jadi bagaimana bisa kau
menyalahkannya karena itu? Bagaimana bisa?”
Air mata
Kenneth tak tertahan. Mengalir begitu saja ke pipinya yang pucat. Dia buru-buru
menutup wajahnya, menggosok-gosokkan tangannya ke pipi untuk menyekanya.
“Aku cinta
Neela,” kata Kenneth, setelah dia menurunkan tangannya. “Mungkin… karena itu.”
Dia tersenyum suram, duduk tegak seraya memandang Eiji yang sekarang tampak
bingung. “Mungkin karena itu aku menyalahkannya. Karena dia membuat Neela tak
bisa melanjutkan hidupnya dengan baik. Karena dia membuat Neela jadi objek
pelampiasan dendam Dai atas kematian adiknya. Itu membuatku menyalahkannya atas
semua ini.”
Selama
beberapa saat yang sunyi, Eiji menatap Kenneth dengan pandangan tak
terjelaskan. Dia kelihatan bimbang. Heran mendengar kata-kata Kenneth barusan.
“Kau cinta
Neela?” tanyanya ragu. “Are you sure?”
Kenneth tidak
membalas. Cuma menatap Eiji sampai akhirnya Eiji mengangkat dagunya sedikit dan
mengangguk pelan.
“Kau bukan Gay,”
Eiji menyimpulkan. “Selama ini… kau bohong pada semuanya.”
Kenneth
memalingkan wajah. Kembali menatap pintu di seberang. “Aku punya alasan untuk
melakukannya.”
“Dan bodohnya
aku membiarkanmu tinggal berdua dengan Neela selama ini.” Suara Eiji meninggi
dan dahinya membentuk guratan-guratan tegas yang menerakan kemarahannya. Tapi
itu cuma sebentar. Tak lama, karena kemudian dia lebih kelihatan prihatin dari
pada murka.
“Neela bukan
alasanku,” kata Kenneth pelan. “Dan aku tidak pernah sedikit pun berniat buruk
padanya.” Dia menolehkan wajahnya pada Eiji sejenak. “Sedikit pun tidak.”
“Kalau begitu
apa alasanmu?”
“Panjang
ceritanya,” jawab Kenneth singkat. Memandang sekeliling dengan muram.
“Aku bisa saja
membunuhmu kau tahu?”
“Ya, aku
tahu.”
“Oh, Tuhan…”
Eiji menggelengkan kepala tak percaya. Sesekali memandang Kenneth. Menatapnya
kebingungan. “Bagaimana kau bisa membohongi semua orang seperti ini. Publik.
Semua orang. Apa kau tidak takut, semua kebohonganmu terbongkar?”
“Dulu ya.
Sekarang,” (dia menggeleng) “tidak. Andaikan kau mau membunuhku karena itu, aku
pasrah. Karena… aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Sulit untukku… It’s killing me… slowly.”
“Neela tahu?”
Kenneth
mendengus geli. “Tentu saja tidak. Kalau dia tahu… dia pasti juga akan
membunuhku. Well, kalau ingatannya kembali tentu saja.”
“Kau punya
kesempatan sekarang… Kenapa kau tidak katakan saja padanya? Akan lebih mudah
kan?” tanya Eiji.
“Sama saja
dengan membohonginya. Mencurangi semua orang. Membuatku jadi kelihatan bodoh.”
“Kau terlalu
perfeksionis, Kenneth.”
Dengus Kenneth
kembali. “Aku memang… orang yang seperti itu,” katanya, tersenyum simpul. “Dan
aku benci diriku kadang-kadang… karenanya.”
Eiji turut
mendengus, menggelengkan kepalanya. “Shinji pasti akan langsung membunuhmu
kalau dia masih hidup.”
“Aku yakin
begitu.”
Selama
beberapa saat mereka tertawa bersama, sampai akhirnya mereda, dan kembali dalam
kediaman yang lebih menyenangkan dari sebelumnya.
“Lea akan
datang besok,” Kenneth memberitahu. “Bersama Juna.”
“Ya, tentu
saja. Besok ulang tahun Neela kan? Mereka harus datang.”
Mata Kenneth
melebar. Dia lupa. Benar-benar lupa. Kalau besok adalah ulang tahun Neela. Dan
sebulan setelah itu, adalah peringatan keempat kematian Shinji. Bahkan hal itu
terlupa juga olehnya.
“Setidaknya
suasana juga akan lebih ceria dengan kedatangan mereka,” tambah Eiji.
Kenneth
tersenyum. Bibirnya membuka, berniat untuk menimpali kalimat Eiji, namun
suara-suara keras yang menghantam lantai yang mendekat, kembali membuatnya menutup.
Dan dia menjulurkan kepalanya, memandang ke arah datangnya suara melewati Eiji.
“Ada apa ini?”
Eiji yang juga telah menoleh, bergumam. Heran melihat Arata datang dengan dua
orang berjalan di belakangnya—satu perempuan satu laki-laki. “Itu” (Eiji menoleh
sekilas pada Kenneth) “Ibu Dai, Wina Tanaka,” katanya. Setelah itu dia berdiri,
mengancingkan jasnya, diikuti oleh Kenneth yang merasa amat salah kostum begitu
melihat Ibu Dai yang datang dengan penampilan amat berkelas.
Hal itu
tentunya tidak terjadi pada Eiji yang memang selalu rapi kapan pun dia
bepergian; lengkap dengan jas, celana panjang dan sepatu. Tidak seperti Kenneth
yang memilih untuk mengenakan T-Shirt dan celana pendek, lengkap dengan sandal
jepitnya. Biasanya dia tak mempermasalahkan itu, dan percaya diri bagaimanapun
penampilannya. Namun melihat Wina Tanaka, dia jadi merasa luar biasa dekil.
“Eiji-san,”
Arata menyapa, sambil membungkukkan tubuhnya dengan hormat. “Nyonya Wina ingin
bertemu Anda.”
Setelah itu
Arata menggeser badannya, mempersilakan Wina Tanaka untuk maju. Eiji mengangguk
sopan—Kenneth mengikuti, kendati canggung, yang kuga dibalas dengan anggukan
sopan oleh Wina dan juga laki-laki bersetelan hitam di belakangnya.
“Ada yang bisa
saya bantu, Nyonya?” tanya Eiji dalam suara rendah yang elegan.
Wina
tersenyum, menggelengkan kepala pelan. “Saya hanya ingin bertemu Anda, untuk
menyampaikan sesuatu Tuan Eiji,” katanya.
“Kalau boleh
saya tahu, apa yang hendak Anda sampaikan pada saya?”
“Saya hendak
memberitahu…, kalau putra saya, Dai, telah siuman setengah jam lalu.”
Bahu Kenneth
langsung mengempas lemah. Merasa lega mendengar informasi tersebut.
“Oh.
Syukurlah,” kata Eiji, turut lega. “Saya ikut senang mendengarnya.”
“Dan juga,
saya juga ingin menyampaikan kalau kami telah memutuskan untuk memindahkan Dai
ke rumah sakit lain hari ini,” sambung Wina. “Tujuan kami untuk,”—(Wina cepat-cepat
bicara lagi begitu melihat kernyitan di wajah Eiji)—“mempercepat pemulihan Dai.
Kondisinya amat lemah… dan Dokter berkata akan lebih baik kalau dia dirawat di
sebuah tempat yang tenang.”
“Tentu saja,”
Eiji menimpali. “Saran Dokter perlu diikuti.”
“Saya minta
maaf atas ketaknyamanan yang disebabkan oleh putra saya. Ini… sudah kedua
kalinya putra-putra saya terlibat dengan orang-orang di sekeliling Anda, dan
yang pertama,”—Wina menelan ludah dengan susah payah, “mengakibatkan kehilangan
besar di keluarga kami.”
Kyouta, pikir Kenneth. Dia bicara tentang Kyouta, adik Dai.
“Karena itu,”
Wina melanjutkan, “selain menyampaikan keadaan Dai, saya juga ingin
menyampaikan permohonan tulus saya, sebagai seorang Ibu yang sangat menyayangi
putranya, agar Anda…, dapat memaafkannya. Dan… dapat menghentikan permusuhan
yang selama ini terjadi di antara kelompok Kodame dan juga O ushi. Saya
berjanji…, dengan cara apa pun, semampu saya…, saya akan membuat Dai tidak lagi
mendekati Nona Neela.”
“Nyonya Wina,” Eiji membalas. “Anda telah
membuat saya sangat tidak enak dengan berkata seperti itu. Tak ada niatan saya
sedikit pun untuk melakukan sesuatu pada Tuan Dai, selain mengharapkan kesembuhannya.
Dan saat Anda mengatakan kalau Tuan Dai telah siuman, saya benar-benar sangat
gembira, karena dengan begitu… Neela akan tenang. Tidak akan menyalahkan
dirinya seumur hidup apabila ternyata Tuan Dai tidak bisa diselamatkan. Tak ada
yang perlu dimaafkan, Nyonya. Malah saya yang seharusnya meminta maaf karena
membiarkan kecelakaan tersebut terjadi, padahal seharusnya saya lebih bisa
bertanggung jawab atasnya.”
Wina tercenung.
Dia sepertinya tak menyangka Eiji akan membalas kata-katanya dengan semacam
kalimat yang lembut dan penuh pengertian seperti yang barusan diucapkannya.
“Bagaimana
pun, saya sangat berterima kasih atas kebaikan Tuan Dai, karena telah bersedia
membantu Neela selama ini. Jadi Nyonya…, Anda bisa tenang sekarang. Saya tak
akan mengganggu Tuan Dai, di mana pun dia berada. Saya berjanji.”
Wina Tanaka menghela napas panjang, dan
mengembuskannya perlahan. Dia tersenyum, dengan bibir yang bergetar, karena
menahan apa pun yang dirasakannya saat ini. Setelah itu dia mengangguk,
mengangkat wajah sedikit, dan berkata, “Terima kasih, Tuan Eiji. Atas
pengertian Anda… saya mengucapkan terima kasih. Dengan tulus.”
“Saya terima
ucapan terima kasih Nyonya… juga dengan tulus,” timpal Eiji. Membungkuk sopan.
“Nona Neela…,
bagaimana keadaannya?” Wina bertanya. “Apa dia masih sakit?”
“Dia akan
baik-baik saja setelah mendengar berita baik ini,” jawab Eiji. “Saya yakin.”
“Baiklah kalau
begitu. Saya tidak bisa berlama-lama. Saya ingin menjenguk Nona Neela, tapi
saya pikir… dia tidak tahu siapa saya, dan saya tidak mau menambah beban
pikirannya. Jadi lebih baik nanti, bila ada kesempatan kita bertemu di lain
waktu,” kata Wina, mengerling sedikit ke arah pintu kamar di seberang.
“Ya, Nyonya,”
balas Eiji. “Terima kasih.”
Dia membungkuk
penuh hormat, diikuti Arata dan Kenneth di belakangnya, dan Wina, balas
membungkuk, juga dengan penuh rasa hormat. Diikuti pengawalnya yang sedari tadi
berdiri di belakangnya.
“Saya pamit,”
katanya kemudian.
“Silakan,”
senyum Eiji.
Dan Wina
Tanaka pun berbalik. Berjalan pergi meninggalkan Eiji, Kenneth dan Arata yang
berdiri tegak menunggunya menjauh diiringi suara hak sepatunya yang mengetuk
lantai keramik di bawahnya. Pengawalnya berjalan tegap di belakangnya.
“Aku tak
menyangka kalau dia sendirian menemuiku,” kata Eiji sambil memandang punggung
Wina yang semakin jauh dari pandangan. “Memohon untuk hidup anaknya dengan amat
sangat, sementara seharusnya dia meludahiku karena kematian anaknya yang lain.”
“Mungkin dia
mengerti kalau kematian Kyouta tak bisa lagi dihindari,” komentar Kenneth. “Itu
bukan salahmu kan? Kau hanya melindungi Shinji yang akan dibunuh oleh Kyouta.”
Eiji bertemu
pandang dengan Kenneth; saling bertukar senyum. Setelah itu kembali
menghadapkan wajah masing-masing ke koridor sepi yang sebelumnya dilalui Wina
Tanaka dan pengawalnya.
Keduanya telah
lenyap dari pandangan.
…
“Bisa dibilang… profesiku rumit. Aku… bukan
orang yang kau maksud, Neela.”
Jadi siapa dia? Neela berpikir keras di atas tempat tidurnya. Dan apa
hubungan Dai dengan Eiji, sampai-sampai ibunya datang dan meminta Eiji
memaafkannya? Siapa Eiji, sampai-sampai punya kuasa untuk memberi pengampunan
pada seseorang?
Dan Shinji…
Kenneth mengatakan ‘Shinji’. Eiji juga, menyebut namanya. Mengatakan kalau
Shinji telah memberikan banyak untuk hidupnya. Telah menyelamatkannya. Siapa
Shinji itu? Apa dia orang yang sama yang namanya tertulis di belakang gitar
usang yang ditemukannya di rumah pantai tempo hari? Apa hubungan orang yang
bernama Shinji itu dengannya?
Demi Tuhan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sedikit pun dia tidak bisa memecahkan
kerumitan ini? Dia tidak seharusnya lupa. Dia seharusnya ingat akan hal-hal
sepenting ini.
Suara pintu
dibuka, dan untuk sesaat membuat pikiran Neela teralih. Dia menoleh, dan
melihat Kenneth muncul. Alisnya langsung bertaut, ketika melihat Neela duduk
tegak di atas kasur, dengan tampang seolah hendak menangis.
“Kau baik-baik
saja?” Kenneth segera mendekat. Kelihatan cemas. “Kenapa kau duduk tegak
begini?” tanyanya lagi, duduk di tepi kasur. “Ada sesuatu yang kau butuhkan?”
“Siapa
Shinji?” tanya Neela cepat. “Apa hubunganku dengannya?”
Bola mata
Kenneth membulat lebih dari sebelumnya. Dia tersentak, karena terkejut oleh
pertanyaan Neela yang tak terduga.
“Aku menemukan
gitar usang dengan namanya tertulis di belakangnya, dan aku… tidak tahu siapa
dia,” cecarnya lagi. “Dan kau… kau menyebut namanya. Eiji… menyebutnya… Kalian
tentu tahu siapa dia.”
“Neela…”
“Dai juga…
Sepertinya dia juga tahu mengenai dirinya. Kenapa—kenapa cuma aku yang tidak
tahu?”
“Neela… Saat
ini tidak tepat untuk membahasnya,” kata Kenneth. “Kau… tidak dalam kondisi
yang baik sekarang.”
“Aku baik-baik
saja, Kenneth. Aku mendengar apa yang kalian bicarakan di luar barusan. Dan
semua itu membuatku bingung, dan ingin tahu… apa yang sebenarnya terjadi. Siapa
Kyouta? Dan kenapa dia sampai ingin membunuh Shinji itu?” Suara Neela mengeras,
tak terkontrol. Air matanya bercucuran, dan napasnya berat. “Kenapa…
kematiannya dikait-kaitkan denganku…”
“Neela.”
Kenneth meraih pundak Neela, bermaksud menenangkannya, tapi Neela segera
menepis tangannya. Membeliak, dan berkata dengan suara bergetar, “Katakan
padaku sekarang… Aku ingin tahu. Aku berhak tahu.”
“Ken?” Suara
Eiji terdengar. Kenneth menoleh dan melihatnya melongokkan kepala. “Ada apa?”
Saat melihat
Neela, Eiji mengerutkan kening. Bingung melihatnya terisak di depan Kenneth.
Dia melangkahkan kaki masuk, berjalan menghampiri tempat tidur di tengah
ruangan.
“Ada apa ini?”
Dia kembali bertanya.
“She heard us,” jawab Kenneth. “Everything.”
Mulut Eiji
membuka, dagunya terangkat sedikit, menyampaikan pemahamannya tanpa suara. “And?”
“She’s confuse, and want to know everything.”
Eiji
mengempaskan napas tajam. Memandang Neela dengan sebelah mata yang menyipit.
Tapi Neela tak memandangnya. Memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Aku akan
panggil Dokter,” kata Eiji. “Dia butuh istirahat.”
“Aku tidak
ingin istirahat!” Neela membentak. Melebarkan matanya pada Eiji, yang baru saja
akan berbalik. “Aku ingin kalian menceritakan apa yang seharusnya kalian
ceritakan padaku. Itu… akan membuatku lebih baik.”
“Kami akan
katakan,” sahut Eiji. “Tapi tidak sekarang.”
“Lalu kapan?”
tuntut Neela, masih dengan matanya yang membulat.
“Sampai kau
benar-benar siap.”
“Aku siap.”
“Kau bahkan
tak mau makan, minum, atau apa pun yang membuatmu sehat,” Eiji balas membeliak.
Habis kesabaran. “Dari mana kau bisa mengatakan kau siap? Kau mau kepalamu
meledak karena itu?”
“Aku tak
peduli!” hardik Neela. “Aku ingin tahu, meskipu aku harus meledak karena itu!
Semua ini membuatku gila! Membuatku bingung…” Neela terisak-isak, membungkukkan
badannya. Meneteskan titik-titik air di permukaan selimut di pangkuannya.
“Tolong katakan padaku…” Dia mengangkat wajahnya lagi. “Aku benar-benar ingin
tahu…”
Kenneth tak
bisa bicara. Dia cuma mengusap-usapkan tangannya ke bahu Neela. Tak berusaha
memberikannya kalimat penghibur untuknya. Sedangkan Eiji, dia mendengus.
Menghadapkan wajahnya ke arah lain, dan memandang sekeliling ruangan sejenak,
sampai akhirnya menutup mata dan berteriak memanggil Arata.
Arata masuk ke
kamar dengan langkah yang tenang, dan berdiri di samping Eiji, menunggu
instruksi.
“Kare wa nemuru koto,”—Buat dia tidur,
kata Eiji tegas pada Arata dalam bahasa Jepang.
“Hai,”—Ya, sahut Arata, sambil
membungkuk. Setelah itu berjalan menghampiri tempat tidur.
Kendati
Kenneth tak mengerti apa yang Eiji perintahkan pada Arata, tapi dia yakin itu
bukan sesuatu hal yang menyenangkan. Dan saat Arata membungkuk hormat pada
Neela dan berkata, “Saya minta maaf, Nona,” dia bertambah yakin, kalau Arata akan
melakukan sesuatu yang tak baik pada Neela.
“Eiji…”
Kenneth menatap Eiji dengan ekspresi wajah yang seolah bertanya. “Apa yang
akan—”
Belum habis
kalimatnya, Neela mendadak terkulai lemas ke samping. Kenneth menggapainya
panik. Menariknya ke pelukan, dan memandang Arata yang baru saja menegakkan
badannya dengan marah. “Apa yang kau lakukan padanya?!” teriaknya.
“Tenang,
Kenneth,” sahut Eiji. “Arata hanya membuatnya tidur.” Eiji mengangguk pada
Arata, dan Arata segera berpaling, berjalan pergi. “Kalau tidak begitu, Neela
akan terus-terusan menuntut untuk diberitahu masalah itu. Dan aku tidak yakin
dia bisa menerimanya dengan baik saat ini. Let
her sleep.” Eiji menyentuhkan tangannya ke pipi Neela. Mengusapnya lembut.
Kenneth sadar,
Eiji tak akan melakukan hal yang buruk pada Neela, karena rasa sayangnya yang
amat besar padanya. Tapi apa yang dilakukan Arata barusan—entah apa,
benar-benar membuatnya syok. Dan hal itu menumbuhkan ketakutan kecil di
dirinya.
“Selain
membuat tidur, apa Arata juga bisa membunuh orang dengan… dengan apa pun yang
dia lakukan barusan?” tanya Kenneth cemas, sambil merebahkan Neela di atas
kasur. “Karena aku tidak akan mendekatinya seinci pun kalau dia bisa
melakukannya.”
Eiji terkekeh.
“Bisa saja,” katanya. Dan kembali terkekeh melihat ekspresi Kenneth setelah
mendengarnya. “Tapi dia tidak bisa sembarangan melakukannya tanpa perintah
khusus.”
“Dari siapa?
Darimu?” tanya Kenneth penasaran.
“Ya.”
“Menakutkan,”
komentar Kenneth. “Aku tidak tahu… bagaimana aku bisa terlibat dengan orang-orang
seperti kalian,” ujarnya. “Hati kalian pastinya telah beku dan tak bisa lagi
dicairkan dalam urusan nyawa seseorang.”
“Kami Yakuza,
Kenneth. Kami diajarkan untuk membela keluarga besar kami, termasuk orang-orang
yang kami sayangi. Aku tentunya tidak bangga atas itu, tapi… bagaimana pun aku
dibesarkan oleh mereka. Dan menjadi satu dengan mereka. Aku tidak menyesalinya,
karena hidupku sekarang ini, mereka yang telah memberikannya.”
“Tapi kau…,”
Kenneth memandang Eiji, “tak bisa dipungkiri… sangat baik,” ujarnya. “Aku
benar-benar tidak percaya, kau adalah salah satu dari mereka. Kau tidak
kelihatan seperti… itu.”
Eiji
tersenyum. “Thanks.”
“Tapi tetap
saja… kau menakutkan,” kata Kenneth lagi.
“Kau
sepertinya amat syok dengan kejadian barusan,” kekeh Eiji. “Kalau begitu
sebaiknya aku pergi dulu. Ada sesuatu yang akan kuurus. Temani Neela. Aku akan
kembali besok pagi.”
Sebelum Kenneth
sempat menjawab, Eiji sudah berpaling. Berjalan tenang menuju pintu, dan
menarik gagangnya membuka. Sebelum melangkah keluar dia menoleh dan mengucapkan
‘Malam’ pada Kenneth, yang sedang menyelimuti Neela.
“Malam,” balas
Kenneth.
Setelah itu
Eiji menghilang. Raib dari pandangan.
(Bersambung)
Gambar dari sini |
God. I miss you all, Guys...
-Kenneth-
PS.
Keep missing us, Guys. 3 chaps to go.
Ending... Ending...