Untitled: Chapter 3
>> Wednesday, October 18, 2017
Baca: Untitled Chapter 1 & 2
3
“Kenapa
kita nggak naik mobil aja sih?”
“Jalan
itu sehat.”
“Ini
jauh.”
Junan
menghentikan langkah santainya untuk menunggu Lea yang tertinggal beberapa
langkah di belakangnya. Saat Lea sampai di sebelahnya, ia melingkarkan satu
tangannya ke bahu Lea. Lea mendelik tajam padanya, dan ia cuma nyengir.
“Teman
itu berbagi masalah. Dan aku, dengan senang hati mendengarkan keluh kesah
kamu,” ujar Junan ditemani cengiran jenaka.
“Aku
butuh kendaraan yang bisa bawa aku kemana pun kamu mau ajak aku, Juna.” Lea
menepis tangan Junan dari bahunya. Merogoh ransel yang ia bawa, dan menarik
keluar botol minuman. “I need that, right
now.”
Ia
meneguk banyak-banyak air putih di dalamnya.
“Kita
udah setengah perjalanan untuk balik lagi ambil mobil. Dan aku yakin kalau kita
balik, kamu pasti nggak mau keluar lagi dengan sejuta alasan. Jadi,” ia
menggamit tangan Lea dengan mendadak, dan membuat Lea yang masih minum tersedak
karena kaget, “kita harus terus.”
Ia
menarik Lea buru-buru, sementara Lea protes. Cepat-cepat memasukkan kembali
botol air ke tas.
“Lagian,”
sambung Junan lagi, memandang ke atas, ke rimbun daun-daun pepohonan yang
menaungi mereka, “ini terlalu indah untuk dilewatkan.”
Ia
melepas tangan Lea dan merentangkan kedua tangannya sendiri sambil terus
berjalan. Mau tak mau Lea ikut mendongak. Dan kemudian memandang sekitar.
Mereka
sudah sampai di jalan besar pinggir hutan rimbun yang hijau dan tenang, dengan
danau besar berwarna biru di sebelah kiri yang memantulkan cahaya cerah
matahari yang mendadak muncul setelah beberapa hari tertutup awan. Kesunyian
begitu terasa, dan rasa tenang merayap perlahan ke lubuk hati. Membuat Lea
bernostalgia kembali ke masa kecilnya, saat ia membuka-buka halaman demi
halaman majalah berbahasa asing di ruang tengah rumah, yang menampilkan
pemandangan-pemandangan indah dari seluruh belahan dunia, dan sudut-sudut rumah
ideal berarsitektur barat yang dipamerkan di majalah tersebut. Membuatnya
berjanji, kalau suatu hari ia akan pergi ke salah satu tempat asing tersebut.
Dan menikmatinya habis-habisan. But,
itu sebelum ia tahu, kalau patah hati itu menyakitkan.
Akhirnya
sekitar 20 menit kemudian, mereka sampai di kota Lake Tekapo.
Sepi.
Yah, karena memang populasinya cuma 369 penduduk saja. Plus, bulan Juli ini
memang bulannya dingin. Jadi tidak banyak wisatawan yang berkunjung. Dan karena
mereka sampai di pusat kota tepat jam makan siang, maka Junan langsung mengajak
Lea ke satu-satunya restoran Jepang yang ada di sana; Kohan Restaurant.
“Sushinya
enak,” beritahu Junan, ketika mereka sudah duduk di salah satu meja di dalam
Kohan, dan Lea tampak bingung melihat menu.
“Kamu
sering ke sini?” Lea memandang Junan dari balik menu.
“Sejak
aku di sini, aku selalu kemari untuk icip-icip.”
“Nggak
bosan?”
“Aku
suka makanan Jepang; apalagi sushi. Kamu suka sushi apa?”
Lea
tak langsung menjawab. Masih menggerakkan matanya ke daftar makanan di menu
dari atas ke bawah. “Aku... Nggak pernah makan makanan Jepang. Nggak suka.”
Junan
membeku. Dan Lea buru-buru berkata, “Oh, its
fine. Makan makanan Jepang ada di bucket
list-ku. Jadi” ia mengangguk-anggukkan kepala, “mungkin sekarang waktunya
untuk coba.”
Ia
nyengir pada Junan. Tapi kemudian cengirannya pudar melihat cara Junan
memandangnya; separo-heran, separo-geli.
“Kenapa
lihat aku kaya gitu?”
“Bucket list? Bucket list apa? Salmon Sushi combination,
please.” Junan bicara pada waitress
yang segera mencatat pesanannya.
“Masa
kamu nggak tahu ‘bucket list’? Teriyaki Chicken Don,” Lea menyebutkan pesanannya
pada si waitress.
Si
waitress membacakan ulang pesanan keduanya, dan setelah dikonfirmasi ia segera
berbalik dan melesat menuju konter.
“Itu...
daftar keinginan kan?”
Lea
tersenyum lebar dan mengangguk. “Ya.”
“Kamu
sekarat atau gimana?”
Lea
mendengus putus asa. “Emang orang sekarat aja yang mesti punya bucket list?
Kita yang sehat gini nggak masalah kan punya bucket list? Ngelakuin beberapa
hal yang belum pernah sama sekali kita coba?”
“Oke.”
Junan mengembungkan pipi, seraya mengangguk.
“Kamu...
punya bucket list?”
“Bukannya
kamu nggak mau tahu soal aku?”
Lea
menyandarkan punggungnya ke belakang. Mengembuskan napas, menatap jengkel Junan
yang sekarang terkekeh. “It’s a bucket
list. Nggak masalah kan?”
“Well. Aku nggak punya yang khusus sih.”
Junan menggaruk-garuk dagunya sambil berpikir. “Karena aku sukanya spontan;
jarang planning sesuatu. Apa yang mau aku lakuin ya aku lakuin.”
“Olahraga
ekstrim, gitu?”
Junan
tertawa. “Sepertinya seluruh olahraga ekstrim udah aku coba.”
“Serius?”
Tampang
Junan kelihatan sekali bangga. “Name it.”
“Bungee
jumping?”
“10
kali, dan love it.”
Lea
mencibir. “Wall climbing?”—Panjat
tebing?
Junan
terbahak. “Setiap ada waktu aku ke wall climbing center, atau ke gunung untuk
manjat.”
“Motor
cross?”
Tawa
Junan makin keras, dan Lea makin manyun. “Aku suka banget Motor cross, Lea.”
“Moto
GP, gitu?”
“Aku
suka balapan, tapi aku sepertinya kalah kualifikasi sama rider Moto GP.”
Lea
kehabisan pilihan, dan Junan terkekeh.
“Apalagi
yang ada di bucket list kamu selain ‘makan makanan Jepang’?”
Mata
Lea berputar saat ia memikirkan jawaban pertanyaan Junan. “Minum bir atau minuman
yang ada alkoholnya,”—muka Junan seolah baru diterpa angin dingin (“Kamu belum
pernah minum bir?”—“Public fight,”—(“What a weird bucket list,” komentar
Juna, terbahak)—“Dansa sama cowok ganteng di tempat yang nggak biasa—Eh, kamu ngapain?”
Junan
menarik tangan Lea, memaksanya berdiri. “ ‘Dansa sama cowok ganteng di tempat
yang nggak biasa’. Itu, akan terjadi sekarang.”
“Aku
nggak mau. It’s Japanese Restaurant for God’s
sake,” tukas Lea dengan tampang ngeri.
“Exactly.” Junan memiringkan kepala dan
tersenyum jail. “Ini tempat yang nggak biasa.”
“Banyak
orang.”
“Hei.
Ini tempat yang nggak biasa.”
“Nggak
ada musiknya.”
“Bisa
diatur.”
Dan
Junan bergegas ke konter, berbicara dengan salah satu waiter di sana selama
beberapa waktu dengan ekspresi serius. Saat ia kembali menghampiri Lea, tak
lama kemudian terdengar intro manis yang amat Lea kenali; Dancing in the
Moonlight-nya Top Loader, band asal Inggris tahun 90-an, yang jadi soundtrack
film A Walk to Remember.
“Oh
my God.”
Lea
tersedak menahan tawa melihat Junan berjalan sambil menggoyangkan badannya
dengan cara yang maskulin namun lucu. Ia juga turut menyenandungkan lirik
lagunya dengan jenaka, tanpa peduli dengan tatapan bingung orang-orang ke
arahnya.
Ia
menggamit tangan Lea, dan merangkul pinggulnya rapat ke badannya. Dan Lea, yang
sudah terkesima oleh aksinya, tanpa banyak kata mengikuti gerakan tubuh Junan
ke kanan dan ke kiri; berdansa di tengah ruangan dengan tawa berderai.
“She’s craving,”—Dia sedang ngidam, Junan
menjelaskan pada seisi ruangan yang memandangi mereka berdua dengan tatapan
kosong tak terjelaskan, sementara Lea menyembunyikan muka merahnya di pundak
Junan sambil terguncang-guncang menahan tawa. “Want to dance here,” ia menambahkan.
Dan
semua orang tertawa. Tatapan bingung mereka berganti tatapan ceria penuh damba
ke arah keduanya.
“See?” kata Junan pada Lea, yang masih
menatapnya tak percaya. “Cuma butuh nekat sama tekad aja. Plus, skill ngeles yang
mumpuni.”
Lea
terbahak, dan memeluk Junan lebih erat.
Lea
makan sushi atas paksaan Juna, dan berjanji tidak akan makan lagi.
Ia
mual merasakan salmon mentah yang tak berasa sedikit pun, walaupun sudah
dicemplungkan ke saus ini-itu. Membuatnya ingin muntah begitu mereka keluar
dari Kohan 1,5 jam kemudian setelah aksi dansa mereka yang fenomenal.
Sekarang
mereka berada di pinggir Lake Tekapo; duduk di tengah alang-alang dan barisan
bunga Lavender. Junan duduk dengan memeluk lutut menghadap danau, dan Lea
menggambarnya di sketch book. Matahari bersinar redup di atas, sehingga mereka
tidak kepanasan. Angin berembus pelan menyejukkan.
“Lea?”
“Hm?”
“What are you doing?”
“Aku
lagi gambar.”
“Bukan.”
Juna menoleh ke arahnya, dan Lea mengangkat mukanya dari kertas sketch book. “What are you doing here? Di New Zealand. Lake Tekapo. Sendirian.”
Lea
kembali menekuni gambarnya yang tinggal sedikit, sekaligus menimbang-nimbang
untuk mengatakan alasannya datang ke sini pada Juna. Tapi kemudian ia
memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun. Kalimat yang keluar dari mulutnya
adalah permintaan pada Juna untuk tidak menanyakan itu lagi padanya.
“Kenapa?”
Lea
bungkam. Menekankan pensil arang di bagian kerah solid v-neck warna abu-abu
cerah Juna yang sedang ia gambar. Berusaha terlihat fokus, kendati isi
kepalanya buyar ke segala tempat.
“Oke.”
Juna menghadapkan mukanya lagi ke arah danau biru yang membentang di hadapan. “I’m here, kalau kamu mau cerita ala
cewek.”
Lea menahan geli mendengar kalimat Juna
barusan. Berupaya terlalu keras menyembunyikan dengusnya, hingga ia seolah
mengempaskan napas tajam dan membuat Juna mau tak mau mengarahkan pandang ke
arahnya.
“Let me see.”
Juna
merangkak mendekati Lea, lalu duduk di sebelahnya. Menjulurkan wajah ke sketch
book yang membuka di kedua kaki Lea yang menyilang, dan segera saja mendesis
‘wow’ kagum begitu ia melihat gambar tangan Lea.
“Aku
sering kali bertanya-tanya, bagaimana caranya orang-orang bisa gambar atau
ngelukis dengan bagus? Mereka kayanya dikasih Tuhan mata yang benar-benar
spesial, dan tangan yang benar-benar luwes untuk itu,” ujar Juna, mengambil
sketch book dari tangan Lea.
Ia
membalik-balik halamannya. Dan kelihatan terkesima dengan semua sketsa tangan
Lea di tiap lembarnya. “It’s very good,”
pujinya.
Lea
hanya tersenyum kecil. Ia sudah sering mendapat pujian serupa, jadi tidak lagi
terlalu excited mendapatkannya dari Juna. Pandangannya ia alihkan ke arah
danau; mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya dengan mata dipejamkan.
“Thank, God, aku ambil kacamata kamu.”
Lea
langsung menoleh pada Juna, yang masih memandangi gambar-gambarnya di sketch
book menggunakan kaca mata bundar miliknya. “Maksudnya?”
“Aku
baru tahu kalau kamu cakep.”
Mulut
Lea menganga. Merasa kalau ia mungkin salah dengar.
“Kamu...
cantik ternyata,” Juna menjelaskan, memandang Lea dengan senyum simpul. “This thing,” ia menunjuk ke kacamata
yang dikenakannya, “kill your face. Not good.”
Lea
mengeluarkan suara seperti cegukan, lalu menarik sketch book-nya dari tangan
Juna. “Kapan kamu mau kembaliin kacamataku?”
“Kalau
aku memang merasa sudah waktunya mengembalikan.” Ia nyengir, lalu merebahkan
badannya di atas rumput. Tangannya dipergunakan sebagai alas. “Lagian, aku
ngerasa kacamata ini lebih cocok denganku daripada kamu.”
Lea
memilih untuk memutar mata ke atas daripada menimpali kalimat-kalimat Juna yang
terkesan narsis dan serampangan, namun selalu membuatnya ingin tertawa atau
tersenyum. Setelah itu ia menghela napas panjang dengan mata memandang lurus ke
danau lagi. Mengembuskannya perlahan, sambil menikmati embusan angin sejuk yang
meniup lembut kulitnya.
“And...”
Juna
menarik ikat rambut Lea. Membuat gelungan asal di belakang kepalanya lepas,
sehingga sulur-sulur ikalnya terjurai bebas di punggung. Mulut Lea menganga.
Matanya melebar saking syoknya.
“Rambut
kamu nggak seharusnya disiksa terus kaya gitu. It’s too pretty to be hide,” kata Juna, seakan saja itu
menyelesaikan masalah.
Ia
menyakukan ikat rambut Lea ke saku jinsnya, dan memejamkan mata.
Menjelang
sore, Junan mengajak Lea mampir ke Lake Tekapo Tavern, sebuah pub lokal yang
populer bagi penduduk Lake Tekapo. Ramai saat mereka masuk ke dalam. Dan Junan
memberitahu Lea kalau tempat ini selalu padat di cuaca dingin seperti ini.
Banyak orang merasa perlu keluar rumah untuk berada di sini; minum bir atau
minuman beralkohol lain untuk menghangatkan badan , atau sekadar hang out
dengan teman-teman.
Para
turis juga sering berkunjung kemari untuk menghabiskan malam selama berada di
Lake Tekapo.
“2 beer and a glass of wine, please,”
Junan berkata pada seorang laki-laki tinggi besar berambut pirang di balik meja
bar yang segera tersenyum ramah begitu keduanya duduk di kursi tinggi. “And French fries.”
“Apa
ada jus?” Lea berbisik pada Junan.
“Ngapain
minum jus? Aku sudah order bir buat kamu.”
Lea
mengerutkan dahi, tampak kesal. “Aku nggak minum bir.”
“Itu
ada di bucket list kamu.”
“Aku
nggak bilang aku harus lakuin itu sekarang kan?”
“Terus
kapan?”
Lea
tampak bingung menjawab. “Ya... Nant—”
“Don’t waste the moment, Lea.” Dua gelas
bir dan satu gelas kecil berisi wine datang, dan Junan langsung menyambar salah
satu gelas bir dan meneguknya sedikit sebelum melanjutkan. “Kamu jauh banget
dari Indonesia. Nggak ada yang kenal kamu di sini. Kalau kamu mau ‘minum bir’, better do it here.”
“Bukannya
seharusnya kamu ngelarang cewek minum bir?” ujar Lea, setengah tertawa.
“Hei.
Kamu yang buat bucket list kamu sendiri. Dan aku bantu kamu untuk ngewujudin
yang aku bisa. Jadi aku ajak kamu ke sini. Kalau ternyata kamu jadi ‘coward’ begini, aku nggak akan ajak
kemari.”
“I’m not a coward.”
“Oh.
Ya, benar. Kamu cuma nunggu sampai kamu benar-benar siap. Kaya mau hilang
perawan aja.”
“For God’s sake, Juna. Kamu ngomong apa
sih?” Lea terbahak. “Apa kamu udah mabuk?”
“I’m a social drinker, Darling. Aku bisa minum berapa pun dan
masih tetap waras. Don’t know about you.”
Junan mengedipkan mata, dan meneguk birnya lagi ditemani dengus tawa.
Untuk
beberapa saat Lea cuma memandang Junan dengan mulut membuka dan tatapan tak
percaya. “Apa alasan aku harus minum di sini? Aku bisa minum di Jakarta nanti.
Atau di mana pun aku mau.”
“Di
mana? Di kamar kamu? Ngumpet-ngumpet? Apa enaknya, daripada minum di bar kaya
gini? Ditemani cowok ganteng yang siap ngelindungin kamu dari laki-laki yang
akan memanfaatkan situasi.”
Dagu
Lea terangkat. “Oh. Jadi kamu kira aku akan mabuk gitu?”
“Touché.” Junan menyesap sedikit birnya
lagi. “Itu akan terjadi. Sudah pasti.”
“Kamu
benar-benar ngeremehin aku. Aku nggak akan mabuk semudah itu.”
Kepala
Junan mengedik ke gelas bir di meja yang belum tersentuh. “Your bucket list is waiting, Madam.”
Lea
menatap Junan dengan ekspresi tak terjelaskan. Bibirnya mengatup, dan napasnya
tersengal seperti orang habis berlari jauh. Dikerlingnya gelas berisi bir yang
hanya sejengkal darinya. Wajahnya kentara sekali bimbang.
“Oke.
Nggak usah diminum,” Junan mengulum senyum. “Aku nanti yang habiskan.”
Ia
meneguk birnya lagi banyak-banyak, dan hampir tersedak ketika Lea menyambar
gelas bir di meja, dan langsung menenggaknya hingga hanya tersisa setengah
dalam gelas.
“Oh,
my God,” ucap Lea, separo-syok,
separo-ngeri, setelah mengentakkan gelas birnya di permukaan meja. Lidahnya ia
julurkan keluar seolah hendak muntah.
Junan
melongo. Ia benar-benar tak menyangka kalau Lea akan meminum birnya sebanyak
itu. Ia mengira, kalau Lea hanya akan menyesapnya sedikit saja.
“Apa...
nggak enak rasanya?” tanya Junan takut-takut pada Lea yang sekarang bengong
menatap rak berisi banyak botol cocktail di depan. “Are you okay?
“Aku
nggak tahu.” Mata Lea bergerak ke kanan dan ke kiri seolah sedang berusaha
mengingat-ngingat sesuatu. “Sebaiknya aku minum lagi.”
Junan
ingin mencegah, namun Lea sudah lebih dulu menyambar pegangan gelas birnya dan
menandaskan isinya dengan cepat. Setelah itu ia bersendawa, buru-buru meminta
maaf pada Junan sambil tertawa ganjil. She’s
drunk, Junan membatin.
“Aku
mau coba wine-nya.”
Tangan
Lea sudah menggapai gelas kecil di depan Junan, dan Junan buru-buru
mengangkatnya. “Aku rasa kamu cukup dengan bir saja.”
“Nggak.”
Lea menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya terangkat berusaha menggapai gelas
kecil di tangan kanan Junan. “Aku harus coba wine juga.”
“No, Lea. Bir sudah cukup buat kamu
mabuk.”
Dahi
Lea mendadak berkerut. Dan matanya mendelik tajam. “Aku nggak mabuk.”
“Tunggu
sebentar lagi, dan kamu bakal ngoceh nggak jelas, atau tidur.”
Dan
tidak butuh lama untuk membuktikannya. Karena kemudian Lea sudah meracau tidak
jelas dalam bahasa Indonesia, dan menghabiskan seluruh French fries yang Junan
pesan, serta setengah isi toples berisi kacang gratis di meja bar.
“Bucket
list-ku yang lain; ikut kompetisi nyanyi; Indonesian Idol, atau X-Factor;
terjun payung, bungee jumping,”—Junan mendengus-dengus geli mendengarnya—“dan—it’s wild actually,” ia cekikikan tak
terkendali, “kissing a stranger.”
Dagu
Junan terangkat. “Menarik. Kapan kamu mau lakuin itu? Kissing a stranger.”
Senyum
Lea terlihat amat manis di mata Junan sekarang.
“Now,” jawab Lea, menggigit bibir
bawahnya seakan menggoda.
“Oh.
Well...” Junan mencondongkan wajahnya
lebih dekat ke Lea. “I don’t mind. Aku—hey! Lea?”
Junan
memandang ngeri Lea yang mendadak saja bangkit dari kursinya, dan melesat ke
sekumpulan laki-laki Caucasian yang berdiri di sudut dekat juke box. Menyambar
kerah kemeja salah seorang dari mereka; laki-laki berambut coklat kemerahan
yang sedang minum dari botol birnya, dan langsung mencium bibirnya dengan
paksa.
“Oh...
fuck,” gumam Junan putus asa.
Ia
merogoh saku celana, dan meletakkan beberapa lembar dolar di meja bar. Menyambar
ransel Lea, kemudian bergegas bangkit dari kursi, dan menghampiri Lea dan si
rambut merah—yang sepertinya menikmati bibir Lea di bibirnya. Ia baru akan
menggapai pundak Lea, ketika suara nyaring perempuan terdengar di belakangnya
(“Why’s she kiss my boyfriend?!”) dan
membuatnya—juga semua orang di dalam bar—menoleh.
Si
laki-laki rambut merah langsung menarik wajahnya dari Lea, dan dengan gelagapan
menenangkan perempuan tersebut. Junan buru-buru menarik pinggul Lea, untuk
menjauhkannya dari pasangan tersebut. Namun Lea malah tertawa girang, dan
membuat perhatian langsung beralih ke arahnya. Terutama si perempuan pirang,
yang sedang marah-marah pada pacarnya.
“She’s drunk,” Junan langsung menjelaskan
pada si perempuan pirang yang kini maju mendekat. Menyembunyikan Lea di
belakangnya. “Really drunk.”
“She wasn’t seem drunk when she kissed my
boyfriend.”—Dia nggak kelihatan mabuk waktu cium pacarku, balas si pirang
galak.
“Believe me she is,” Junan berusaha
meyakinkannya.
“Hey. Ini public fight!” seru Lea dari belakang Junan. Semringah. “It’s one of my bucket list!”
Lea
sempoyongan maju ke depan, menghampiri si perempuan pirang. Dan Junan dengan
sigap menyambar pinggulnya. Tapi Lea yang jelas tidak mengerti gentingnya
situasi berusaha kembali ke depan lagi, menggapai-gapaikan tangan pada si
perempuan pirang.
“Nope. It’s not public fight.” Junan
kembali menarik Lea, dan memaksanya menjauh dari si perempuan pirang yang
mendengus-dengus seperti banteng marah dan gerombolannya yang memandang dengan
tatapan siap perang ke arah keduanya. “We’re
leaving now. Peace. Ok?”
Junan
mendorong punggung Lea, menggiringnya ke pintu keluar. Angin dingin langsung
mengempas ke arah mereka, dan membuat keduanya seketika beku di tempat.
“Kita
harus cari taksi kalau gini,” gumam Junan pada Lea, kendati ia tak yakin Lea
mendengar atau tidak. “Kita berdua nggak ada yang bawa parka.”
Junan
menoleh, dan melihat Lea sedang menatapnya diiringi senyum bodoh. Hidungnya
merah, karena diterpa angin dingin.
“What?”
“Kayanya
aku beneran mabuk,” jawab Lea cekikikan.
“No doubt.”
Setelah
itu Junan meraih tangan Lea, dan mengajaknya berlari ke salah satu taksi yang
parkir tak jauh dari pub.
Lea
tidur sepanjang perjalanan kembali ke rumah. Dan masih tidur waktu taksi yang
mengantar keduanya memasuki pekarangan dan berhenti di depan teras. Junan berusaha
membangunkannya, tapi sepertinya Lea terlalu mabuk untuk membuka mata, sehingga
Junan terpaksa menggendongnya masuk.
“You don’t have to do this,” ujar Lea
pada Junan yang sedang membawanya meyeberangi ruang tamu menuju kamar.
“Do what?”
“Gendong
aku.” Lea nyengir, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Junan. “Aku nggak
pernah digendong kaya gini sama cowok. It’s
so romantic.”
“Aku
kira kamu nggak suka yang romantis.”
Junan
mendorong pintu kamar Lea menggunakan satu kaki, kemudian masuk ke dalam, lalu
hati-hati menurunkan Lea di atas tempat tidur. Lea langsung meletakkan kepala
di atas bantal, berbaring miring dengan kedua kaki menggantung ganjil.
“Kepalaku
pusing banget sekarang,” keluhnya, masih setengah terkekeh.
Junan
mendengus geli, dan membantu Lea melepaskan kedua boot yang masih ia kenakan.
Setelah itu ia membenarkan posisi kaki Lea; menggesernya agar seluruhnya berada
di atas kasur, kemudian menarik selimut untuk menutupi kedua kaki Lea yang
terasa amat dingin.
“Sleep now. Aku nyalain perapian biar
hangat sedikit.” Junan mengusap kepala Lea.
Setelah
itu ia berpaling; hendak pergi. Namun tertahan saat Lea mendadak meraih satu
tangannya. Membuatnya memutar badannya lagi, dan memandang Lea lagi, dengan
ekspresi penuh tanya.
“Kalau
aku lupa besok, aku mau bilang sekarang kalau aku... senang banget hari ini,”
jawab Lea. “Udah lama banget kayanya, aku nggak sesenang ini. Thank you.”
“You’re welcome.” Junan tersenyum. Senyum
yang benar-benar tersenyum. “Aku juga senang kok.”
“And...”
Tiba-tiba
air mata Lea jatuh satu per satu ke pipi, dan mulai menangis. Junan yang tidak
menduganya langsung bingung. Bergegas duduk di tepi tempat tidur dan mengusap
pundak Lea.
“Ada
apa?”
“Aku
patah hati...”
Dahi
Junan berkerut. Tak paham.
(Bersambung)
![]() |
Gambar dari sini |
Supporting Character: Soma Saidan (Soma), Danaela Saidan (Dane/Dan), Dario Umbara (Rio/Dario), Brina Rasya (Brie)